Khadlonah (Pengasuhan anak)

Khadlonah (Pengasuhan anak)

Anonim 05.39.00 0

BAB I
PENDAHULUAN


A.       Latar Belakang
Pernikahan dan perwujudannya merupakan hasrat alami manusia yang terbaik dengan naluri. Hal ini merupakan salah satu berkah terbesar dari Allah, keinginan untuk membangun keluarga inilah yang menghindarkan kaum muda dari fantasi terhadap mimpi-mimpi yang tak masuk akal dan segala kecemasan bathin. Pernikahan dapat membuat mereka menemukan pasangan yang baik dan serta yang mau berbagi rasa dalam masa-masa susah dan bahagia.
Pernikahan tidak selalu berjalan mulus. Terkadang justru berakhir dengan perceraian. Perceraian dipilih karena dianggap sebagai solusi dalam mengurai benang kusut perjalanan bahtera rumah tangga. Sayangnya, perceraian tidak selalu membawa kelegaan. Sebaliknya, seringkali perceraian justru menambah berkobarnya api perseteruan.
Berbagai media pun sering menayangkan perseteruan pada proses maupun paska perceraian yang dilakukan oleh para publik figur Indonesia melalui tayangan-tayangan infotainment. Salah satu pemicu perseteruan adalah masalah hak asuh anak. Apabila pasangan suami istri bercerai, siapa yang berhak mengasuh anak? Ayah ataukah Ibu ?  Ayah yang pada awalnya adalah kepala keluarga. Ia merasa berhak penuh atas hak asuh anak. Di sisi lain, ibu pada awalnya adalah pengelola keluarga. Ia telah hamil, melahirkan, menyusui, merawat, dan mendidik anak. Ia juga merasa berhak penuh atas hak asuh anak. Bagaimana solusinya?
Untuk itu kami akan membahas lebih dalam mengenai  “Hadlonah (Pengasuhan Anak”), yang mana seorang isteri maupun suami masih mempunyai kewajiban untuk mengasuh anak dari buah pernikahan mereka sehingga anak hasil perkawinan mereka terpelihara dengan baik.

B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan uarian pada latar belakang diatas, dapat disimpulkan beberapa Rumusan masalah sebagai berikut ;
a.    Apa pengertian Hadlonah?
b.    Bagaimana dasar hukum Hadlonah?
c.    Apa saja Syarat dan Rukun pengasuhan anak (Hadlonah)

C.       Tujuan Penulisan
a.       Mengetahui pengertian Hadlonah.
b.      Mengetahui dasar hukum Hadlonah.
c.       Mengetahui syarat pengasuhan anak (Hadlonah).


BAB II
PEMBAHASAN


A.       Pengertian Hadlonah
Hadlonah menurut bahasa adalah Al-Janbu berarti erat atau dekat. Sedangkan menurut istilah memelihara anak laki-laki atau perempuan yang masih kecil dan belum dapat mandiri, menjaga kepentingan anak, melindungi dari segala yang dapat membahayakan dirinya, mendidik rohani dan jasmani serta akalnya supaya si anak dapat berkembang dan dapat mengatasi persoalan hidup yang akan dihadapinya.[1]
Pengertian ini selaras dengan pendapat yang dikemukakan oleh sayid sabiq bahwa Hadlonah adalah melakukan pemeliharaan anak yang masih kecil laki-laki atau perempuan atau yang sudah besar belum mumayyiz tanpa kehendak dari siapapun, menjaga dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani dan rohani agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya.[2]
Dengan demikian, mengasuh artinya memelihara dan mendidik. Maksudnya adalah mendidik dan mengasuh anak-anak yang belum mumayyiz atau belum dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk, belum pandai menggunakan pakaian dan bersuci dan sebagainya.

B.       Dasar Hukum Hadlonah
Hubungan antara orang tua dengan anak dalam hal ini adalah hubungan kekal tidak bisa putus atau terhalang keadaan sesuatu apapun baik karena perceraian maupun salah satunya meninggal dunia, tidak menyebabkan putusnya kewajiban terhadap anaknya sesuai dengan Q. S. Al-Baqarah ayat : 233
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ ۖ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ ۚ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ
 
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh yaitu menyempurnaka penyusuan dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian pada para ibu dengan cara yang makruf.”
Ayat tersebut dipahami bahwa seorang ayah berkewajiban untuk memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya,[3] sedangkan dalam pemeliharaan anak yang setelah bercerai antara suami dan istri, rupanya prioritas jatuh pada seorang ibu yang paling berhak untuk mengasuhnya.
Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh At-tirmidzi:
Dari ibnu Syuaib dari ayahnya dari kakeknya yakni Abdullah bin Umar dan sesungguhnya seorang wanita berkata : Wahai Rasulullah, sesungguhnya anak saya ini perutku adalah kantongnya, pangkuanku adalah tempat duduknya, dan susuku adalah tempat minumnya, maka setelah mendengar aduan itu, kemudian Nabi Muhammad SAW bersabda:”Engkaulah yang lebih berhak menjaga anak itu selama engkau belum kawin dengan yang lain.”
Hadis tersebut menjadi dalil bahwa ibu lebih berhak dari pada ayahnya, selagi si ibu belum menikah lagi. Para fuqaha’ sepakat bahwa hak pemeliharaan anak (hadlonah) ada pada ibu selama ia belum bersuami lagi. Apabila ia telah bersuami lagi dan sudah disetubuhi oleh suami yang baru maka gugurlah pemeliharaannya.
Sedangkan keputusan ketika anak sudah bisa memilih yang baik baginya, itu sesuai dengan hadis nabi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah:
Dari Abu Hurairah berkata: Sesungguhnya seorang perempuan berkata: Ya Rasulullah, sesungguhnya suamiku hendak pergi membawa anakku, padahal dia telah memberi manfaat bagi saya, sudah dapat mengambil air minum untuk saya dari sumur Abu Inabah.
Setelah suaminya datang lalu nabi SAW bersabda kepada aak itu: wahai anak ini ibu dan ini ayahmu, peganglah tangan yang mana di antara keduanya yang kamu sukai, lalu anak itu memegang tangan ibunya dan wanita itu pergi bersama anaknya.”
Sedangkan para Imam Mazhab berbeda pendapat tentang suami istri yang bercerai, adapun mereka mempunyai seorang anak atau lebih. Siapakah yang berhak memelihara anaknya?
a.         Menurut pendapat Imam Hanafi dalam salah satu riwayatnya: Ibu lebih berhak atas anaknya hingga anak itu besar dan dapat berdiri sendiri dalam memenuhi keperluan sehari-hari seperti makan, minum, pakaian, beristinjak, dan berwudhu. Setelah itu, bapaknya lebih berhak memeliharanya. Untuk anak perempuan, ibu lebih berhak memeliharanya hingga ia dewasa, dan tidak diberi pilihan.
b.        Imam Miliki berkata: ibu lebih berhak memelihara anak perempuan hingga ia menikah dengan orang laki-laki dan disetubuhinya. Untuk anak laki-laki juga seperti itu, menurut pendapat Maliki yang masyhur, adalah hingga anak itu dewasa.
c.         Imam Syafi’i berkata: Ibu lebih berhak memeliharanya, baik anak itu laki-laki maupun perempuan, hingga ia berusia tujuh tahun. Apabila anak tersebut telah mencapai usia tujuh tahun maka anak tersebut diberi hak pilih untuk ikut diantara ayah atau ibunya.
d.        Imam Hambali dalam hal ini mempunyai dua riwayat: Pertama, ibu lebih berhak atas anak laki-laki sampai ia berumur tujuh tahun. Setelah itu, ia boleh memilih ikut bapaknya atau masih tetap bersama ibunya. Sedangkan untuk anak perempuan, setelah ia berumur tujuh tahun, ia terus tetap bersama ibunya, tidak boleh diberi pilihan. Kedua, seperti pendapatnya Imam Hanafi, yaitu ibu lebih berhak atas anaknya hingga anak itu besar dan berdiri sendiri dalam memenuhi keperluan sehari-hari sepeti makan, minum, pakaian, beristinjak, dan berwuduk. Setelah itu, bapak lebih berhak memeliharanya. Untuk anak perempuan, ibu yang lebih berhak memeliharanya hingga ia dewasa dan tidak diberi pilihan.[4]
Pengasuhan anak dijelaskan dalam UU No. 1 pada tahun 1974 pasal 41 akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :
a.         Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara, mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilamana ada perselisihan mengenai pengasuhan anak –anak, pengadilan memberi keputusan,
b.        Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pendidikan dan pemeliharaan, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.[5]
Dalam pasal tersebut hanya dijelaskan bahwa kedua orang tua masih memiliki kewajiban pemeliharaan kepada anaknya setelah terjadi perceraian, akan tetapi belum jelas arah anak akan di asuh oleh si bapak atau si ibunya.
Selanjutnya dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) Pasal 105 huruf (a) dijelaskan bahwa, Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 (dua belas) tahun adalah hak ibunya;[6] artinya bahwa ketika anak belum cukup umur (dewasa/baligh) maka pengasuhan di pegang oleh ibunya, ketika ibu memang masih memenuhi syarat dari pengasuhan tersebut. Mengenai hal tersebut juga dijelaskan dalam Pasal 156 mengenai Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah ; anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadlonah dari ibunya.[7]
Bagi anak yang sudah cukup umur, Pasal 105 “Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaan[8] dijelaskan juga dalam Pasal 156 huruf (b).[9]
Mengenai biaya pemeliharan/pengasuhan sang anak, Ayah lah yang tetap menanggung pembiayaan tersebut.[10] Dijelaskan dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) Pasal 105 huruf (c) dan pasal 156 huruf (b), lantas Upah hadlonah seperti upah menyusuhi, ibu tidak berhak atas upah hadlonah selama ia masih menjadi istri dari ayah anak kecil itu, atau selama masih dalam masa iddah. Karena dalam keadaan tersebut, ia masih mempunyai hak nafkah sebagai istri atau nafkah masa iddah. Maka ia berhak mendapatkan upah itu seperti haknya kepada upah menyusui, apabila setelah habisnya masa iddah. Allah SWT. Berfirman: (At-Talak:06)
“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.”

C.       Syarat dan pengasuhan anak (Hadlonah)
Setelah dasar hukum itu terealisasikan tentu pengasuh menjadi faktor untuk kecakapan dan kepatutan untuk memelihara sang anak maka harus ada syarat-syarat tertentu bagi yang akan melaksanakan hadlonah.
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa meskipun pasangan telah bercerai, akan tetapi masih memiliki kewajiban untuk mengasuh si anak, baik si ibu ataupun si bapaknya, berikut beberapa syarat hadlonah ;
a.         Berakal sehat, karena orang gila tidak boleh menangani dan menyelenggarakan Hadlonah.
b.        Merdeka, sebab seorang budak kekuasaannya kurang lebih terhadap anak dan kepentingan terhadap anak lebih tercurahkan kepada tuannya
c.         Beragama Islam, karena masalah ini untuk kepentingan agama yang ia yakini atau masalah perwalian yang mana Allah tidak mengizinkan terhadap orang kafir
d.        Amanah
e.         Belum menikah dengan laki-laki lain bagi ibunya
f.          Bermukim bersama anaknya, bila si ibu pergi, maka ayah lebih berhak karena untuk menjaga nasabnya.
g.        Dewasa, karena anak kecil sekalipun mumayyiz tetapi ia butuh orang lain untuk mengurusi dirinya.
h.        Mampu mendidik, jika penyakit berat atau perilaku tercela maka membahayakan jiwa anak dan justru terlantarkan berada di tanganya.[11]
Syarat di atas bukan bagian mutlak karena hal terbaik bagi anak merupakan faktor utama untuk Hadlonah seperti penyebutan dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) Pasal 109
“Pengadilan agama dapat mencabut hak perwalian seseorang atau badan hukum dan memindahkannya kepada pihak lain atas permohonan kerabatnya bila wali tersebut pemabuk, penjudi, pemboros, gila, melalaikan atau menyalahgunakan hak dan wewenangnya sebagai wali demi kepentingan orang yang berada di bawah perwaliannya”[12]
Karena tiadanya aturan yang jelas, maka pada umumnya secara baku Hakim mempertimbangkan putusannya berdasarkan fakta-fakta dan bukti yang terungkap di persidangan mengenai baik buruknya pola pengasuhan orang tua kepada si anak termasuk dalam hal ini perilaku dari orang tua tersebut serta hal-hal terkait kepentingan si anak baik secara psikologis, materi maupun non materi. Dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) Pasal 229 ditegaskan bahwa “Hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya, wajib memperhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan. Jadi Hakim harus mempertimbangkan sungguh-sungguh apakah si ibu layak mendapatkan hak untuk mengasuh anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 (dua belas) tahun. Jadi didasarkan pengertiannya, maka konsep hak Hadlonah dalam Kompilasi Hukum Islam tidak jauh berbeda dengan konsep perlindungan sebagaimana diatur dalam ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku umum yakni tetap harus memperhatikan perilaku dari orang tua tersebut (seperti si ibu tidak bekerja sampai larut malam, lebih mengutamakan kedekatan kepada si anak dibandingkan kesibukkan diluar rumah dan sebagainya) serta hal-hal terkait kepentingan si anak baik secara psikologis, materi maupun non materi

D.       Faktor Penyebab Hak Asuh Anak Jatuh ke tangan Ayahnya
Selain beberapa masalah yang menyebabkan si ibu tidak mendapatkan hak asuh bagi anaknya, melainkan hak asuh menjadi di tangan sang ayah disebabkan oleh beberapa faktor berikut ;
a.         Si pemegang hak Hadlonah sebelumnya Tidak beragama Islam/pindah dari agama Islam (murtad);
b.        Berkelakuan buruk, seperti pemabuk, penjudi, pecandu narkoba, penganiayaan;
c.         Mengalami gangguan jiwa.
Hakim juga mengatakan tidak hanya mempertimbangkan berhak atau tidaknya seorang ibu untuk mengasuh anak, Hakim juga mempertimbangkan apakah ayah dari anak itu mampu memelihara anak tersebut. Ayah dari anak itu harus sanggup dan bertanggung jawab atas pemeliharaan, pendidikan dan biaya hidup anak itu.3
Dalam kasus tertentu Hakim berdasarkan kepada hujat yaitu alasan hukum dari kitab-kitab klasik sehingga memberikan hak Hadlonah anak yang belum mumayyiz kepada ayahnya dengan alasan bahwa ibunya akan berpindah tempat, kitab juga menjadi rujukan kalau Hakim berkeyakinan seperti itu, karena disamping berpegangan pada hukum materil seperti Kompilasi Hukum Islam, Hakim juga berpegangan pada sumber hukum tidak tertulis (kitab-kitab) apabila Majelis Hakim memandang dalam kasus tertentu dilihat bahwa anak tersebut lebih
maslahat diberikan hak Hadlonah kepada ayahnya, Majelis Hakim bisa menjatuhkan putusan demikian dan berani mengambil keputusan apabila ditemukan alasan-alasan hukum kontemporer seperti tidak mempunyai pekerjaan, cacat moral (selingkuh, pemabuk dan berkelakuan cacat moral lainnya), jadi dalam menjatuhkan putusan tersebut Hakim mempunyai pertimbangan-pertimbangan, yaitu ada pertimbangan-pertimbangan hukum kontemporer dan ada juga pertimbangan berdasarkan ketentuan-ketentuan klasik (hukum yang tidak tertulis).
BAB III
PENUTUP

A.       Kesimpulan
Hadlonah menurut bahasa adalah Al-Janbu berarti erat atau dekat. Sedangkan menurut istilah memelihara anak laki-laki atau perempuan yang masih kecil dan belum dapat mandiri, menjaga kepentingan anak, melindungi dari segala yang dapat membahayakan dirinya, mendidik rohani dan jasmani serta akalnya supaya si anak dapat berkembang dan dapat mengatasi persoalan hidup yang akan dihadapinya.
Seorang ayah berkewajiban untuk memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya, sedangkan dalam pemeliharaan anak yang setelah bercerai antara suami dan istri, rupanya prioritas jatuh pada seorang ibu yang paling berhak untuk mengasuhnya ketika si anak masih dibawah umur (belum mumayyis).
Selanjutnya tidak hanya ibu, ayah juga dapat menjadi pihak yang mengasuh si anak, karena disebabkan oleh faktor yang menggurkan kewajiban si istri.


DAFTAR PUSTAKA

Hakim, Rahmat, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung, Pustaka Setia, 2000),
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jus 8, (Bandung, Al-Ma’ruf, 1984),
H. A. Al-Hamdani, Risalah Nikah (Jakarta, Pustaka Amini,
Muhammad Abu Bakar, Terjemah Subulussalam juz III (Surabaya, Al-Ikhlas, 1955),
Abdurahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta, Akademia Presindo, 2010),
Abdul Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Bogor, Kencana, 2003),
Musthafa Kamal Pasha, Chalil, Wahardjani, Fiqih Islam, (Jogyakarta, Citra Karsa Mandiri, 2002)



[1]. Hakim, Rahmat, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung, Pustaka Setia, 2000), h.224
[2]. Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jus 8, (Bandung, Al-Ma’ruf, 1984), h.179
[3]. H. A. Al-Hamdani, Risalah Nikah (Jakarta, Pustaka Amini, 2002), h.321-322
[4]. Muhammad Abu Bakar, Terjemah Subulussalam juz III (Surabaya, Al-Ikhlas, 1955), h. 819-820
[5]. Ibid, h. 241
[6]. Abdurahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta, Akademia Presindo, 2010), h. 138
[7]. Ibid, h. 151
[8] Ibid, h. 135
[9] Ibid, h. 151
[10]. Abdul Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Bogor, Kencana, 2003), h. 189
[11]. Musthafa Kamal Pasha, Chalil, Wahardjani, Fiqih Islam, (Jogyakarta, Citra Karsa Mandiri, 2002), h. 304
[12]. Abdurahman, Op. Cit., h. 139

TIPS DIET ALA ISLAM

05.29.00 0

pada bingung pingin diet gagal mulu...
mending ikutin langkah langkah dibawah ini insyaalhah bisa langsing.
tapi niatnya jangan diet melainkan lillahitaala..

1. puasa senin dan kamis atau daud, dengan tujuan mengikuti sunah rasul, bukan diet.

2. makan secukupnya , tiga kali sehari  dan teratur, dengan membagi perut menjadi 3 .
seperti sunah Nabi Muhammad Saw
    
عن المقدام بن معدي كرب اَنَّ رَسُولَ الله صلى الله عليه وسلم قال: مَا مَلاَءَ اَدَمِيُّ وِعَاءَ شَرًّا مِنْ بَطْنِهِ, بِحَسْبِ ابْنِ اَدَمَ لُقَيْمَةٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ فَاِنْ كَانَ لاَمحَاَلةَ فَاعِلًا فَثُلُثٌ لِطَعَامِه وثُلُثٌ لِشَرَا بِه وثُلُثٌ لِنَفْسِه   ( رواه الترمذى وابن حبان )
Dari miqdam bin ma’dikariba sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda:“Tidaklah seorang anak Adam mengisi sesuatu yang lebih buruk dari perutnya sendiri ,  cukuplah bagi anak adam beberapa suap yang dapat  menegakkan tulang punggungnya, jikapun ingin berbuat lebih, maka sepertiga untuk makanan dan sepertiga untuk minum dan sepertiga lagi untuk nafasnya. ( HR. Tirmidzi dan Ibnu Hibban)

3.makan makanan berserat
  Makan berserat tinggi ini bisa didapat dari buah dan sayur sayuran. Buah mislanya pir, pisang, pepaya, dan  jambu biji. Sayur misalnya brokoli, labu, bayam, lobak, kentang, ubi jalar, kembang kol, kubis merah, dan sayur-sayuran hijau.

4. olahraga rutin (banyak bergerak)

5. tidur yang cukup
 normalnya manusia tidur 8 jam 1 hari.

6.dilakukan secara rutin

nb: jangan tidur setelah makan , tunggulah setelah 4 jam lalu tidur, atau setelah makan banyak beraktifitas sampai kurang lebih 2 jam lalu tidur,,,
sebab tidur setelah makan banyak mendatangkan penyakit 

sebab ketika kalori yang baru masuk dalam tubuh kalau tidak ada aktivitas yang anda lakukan maka kalori tersebut tidak akan terbakar, dan malah akan menjadi lemak yang menumpuk di dalam tubuh. kalori tersebut tidak akan terbakar, dan malah akan menjadi lemak yang menumpuk di dalam tubuh.

berikut bahaya yang muncul sebab kebiasaan tidur setelah makan
1.obesitas
2.diabetes
3.serangan jantung dll. 

sekian semoga bermanfaat.


melayani pembuatan: kaos, kemeja, jamper, pdl, polo, hoodie, sweater, topi, sablon kerudung almamater dll 
 untuk partai besar maupun kecil

Perbedaan Fasakh dan Talak

Anonim 04.38.00 1
PERBEDAAN FASAKH DAN TALAK
  1. Perbedaan dari segi pengertian
Fasakh adalah batalnya perkawinan atau putusnya perkawinan,. Adapun pengertian fasakh secara etimologi (lughat, bahasa) adalah merusak atau memisahkan. Sedang pengertian fasakh secara terminologi (istilah) adalah mencabut hukum dari asalnya hingga seakan-akan tidak pernah terjadi. Maka fasakh nikah adalah pembatalan atau merusak jalinan pernikahan yang telah terjadi hingga seakan-akan tidak pernah terjadi pernikahan dengan cara pihak istri mengadukan kepada pihak ketiga (Hakim) tentang hal-hal yang memperbolehkan seorang istri untuk mengajukan fasakh seperti ketidak mampuan suami untuk memberikan nafkah atau adanya aib pada diri suami.[1] Yang dimaksud dengan fasakh nikah adalah membatalkan atau memutuskan ikatan hubungan antara suami dan istri di sebabkan sesuatu yang diketahui (berupa kekurangan/cacat tertentu yang terdapat pada pasanganya) setelah akad berlangsung. Misalnnya suatu penyakit yang muncul setelah akad yang menyebabkan pihak lain tidak dapat merasakan arti dan hakikat sebuah perkawinan dan tidak dimungkinkan lagi untuk dapat mencapai tujuan pernikahan itu sendiri.
Jika talaq adalah kata yang diambil dari kata ithlaq yang artinya melapaskan atau Irsal memutuskan atau tarkun, meninggalkan, firaaqun perpisahan. Yang dimaksud talak adalah melepaskan ikatan perkawinan dengan lafazh talak atau sebangsanya. Apabila dilihat dari Islam, Talak menurut bahasanya artinya ialah mengirim atau melepas. Adapun pengertian talak menurut syariat agama, adalah pelepasan ikatan perkawinan dan pengakhiran hubungan suami-isteri. Dalam KHI. Talak adalah ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Perceraian (Talak) adalah sesuatu yang halal tapi paling dibenci oleh Allah.[2]
  1. Perbedaan dari segi Dasar Hukum dan Akibat Hukumnya
Pada dasarnya hukum fasakh itu adalah mubah atau boleh, boleh disini diartikan jika pernikahan tetap dilajutkan maka akan menimnbulkan kemudhorotan, maka boleh dilkaukan fasakh.[3]
Dasar Hukum Fasakh Hadist oleh H.R Ahmad, yaitu:
Dari jamil bin Zaid bin Ka’ab r.a bahwasannya Rosulullah SAW pernah menikahi seorang perempuan bani gafar, maka tatkala ia akan bersetubuh dan perempuan itu telah yang meletakkan kainnya, dan ia duduk di atas pelaminan, kelihatannya putih (balak) dilambungnya lalu ia berpaling (pergi dari pelaminan itu) seraya berkata, “ambillah kain engkau, tutupilah badan engkau, dan beliau telah mengambil kembali barang yang telah diberikan kepada perempuan itu.” (HR. Ahmad).
Sedangkan talak Hukum terbagi menjadi lima, yakni :
  1. Talak menjadi wajib bila keduanya berselisih dan bertengkar hebat, dan dua orang wakil dari masing-masing pihak memutuskan bahwa cerai adalah satu-satunya jalan untuk mengakhiri dan menyelesaikan percekcokan dan pertengkaran yang terus-menerus.
  2. Talak menjadi haram bila talak dijatuhkan pada saat isteri sedang haid, atau saat isteri dalam keadaan suci akan tetapi telah dicampuri sebelumnya
  3. Talak menjadi makruh apabila talk dilakukan tanpa sebab yang berarti dan kondisi rumah tangga cukup stabil, karena apabila hanya terdapat masalah kecil yang dapat diatasi talak seyogyanya tidak boleh terjadi.
  4. Talak juga dapat menjadi sunah apabila istri mengabaikan kewajibannya sebagai muslimah, yaitu meninggalkan shalat, puasa dll, sedangkan suami tidak sanggup memaksa untuk menjalankan kewajiban atau suami tidak mampu mendidiknya.
  5. Talak juga bisa diperbolehkan ialah talak yang perlu disebabkan keburukan dan kerendahan akhlak serta kebobrokan pergaulan isteri yang jelas merugikan martabat suami dan apabila perkawinan mereka tetap dilanjutkan tidak akan mencapai tujuan perkwinan dengan baik justru akan membahayakan keadaan keluarga nantinya.
Sedangkan dasar hukum talak dalam Al-Qur’an terdapat pada Surah Al-Baqoroh ayat 228-234, sedangkan dalam hadis.
          Ibn ‘Umar menyatakan bahwa Nabi saq bersabda : Perbuatan halal yang aling dibenci Allah ialah talak.
          Talak hanya diperbolehkan apabila pasangan suami isteri yang bermasalah dengan berbagai upaya tidak dapat lagi bersatu.[4]

  1. Perbedaan dari segi Penyebab
Para ulama telah sepakat bahwa apabila salah satu pihak dari suami istri mengetahui ada ‘aib pada pihak lain sebelum ‘aqad nikah itu diketahuinya sesudah ‘aqad tetapi ia sudah rela secara tegas atau ada tanda yang menunjukkan kerelaannya maka ia tidak mempunyai hak lagi untuk meminta fasakh dengan alasan ‘aib itu bagaimanapun.
Ada 8 (delapan) aib atau cacat yang membolehkan khiyar di antaranya:
Tiga berada dalam keduanya (suami-istri) yaitu: gila, penyekit kusta dan supak.
Dua terdapat dalam laki-laki yaitu: ‘unah (lemah tenaga persetubuhannya), impoten. (surat al-baqoroh : 231)
Tiga lagi berasal dari perempuan yaitu: tumbuh tulang dalam lubang kemaluan yang menghalangi persetubuhan, tumbuh kemaluan dan tumbuh daging dalam kemaluan, atau terlalu basah yang menyebabkan hilangnya kenikmatan persetubuhan.
Ketika suami pergi, entah kemana istri tidak boleh di fasakhkan sebelum benar-benar diketahui kemana suaminya itu pergi. Akan tetapi menurut maliki di tangguhkan sampai 4 tahun sesudah itu difasakhkan oleh hakim atas tuntutan istri. Sebagian ulama berpendapat hakim boleh memasakhkan sesudah di beri masa tenggang yang dipandang perlu oleh hakim. Paling baik di tunggu 4 tahun mengingat perhubungan[5]
Jika talaq terdapat berbagai penyebab terjadinya talaq, diantaranya sebagai berikut :
  1. Terjadinya nusyuz dari pihak isteri
Nusyuz bermakna kedurhakaan yang dilakukan seorang isteri terhadap suaminya. Hal ini bisa terjadi dalam bentuk pelanggaran perintah, penyelewengan dan hal-hal yang dapat menganggu keharmonisan rumah tangga.[6] Berdasarkan firman Allah memberikan opsi sebagai berikut:[7]
  1. Isteri diberi nasihat dengan cara yang ma’ruf agar ia segera sadar terhadap kekeliruan yang diperbuatnya.
  2. Pisah ranjang, cara ini bermakna sebagai hukuman psikologis bagi isteri dan dalam kesendiriannya tersebut ia dapat melakukan koreksi terhadap kekeliruannya.
  3. Apabila dengan cara ini tidak berhasil, langkah berikutnya ialah memberi hukuman fisik dengan cara memukulnya. Penting untuk dicatat, yang boleh dipukul adalah bagian yang tidak membahayakan si isteri seperti betisnya.[8]
  4. Nusyuz suami terhadap isteri
Kemungkinan nusyuz tidak hanya datang dari isteri tetapi dapat juga datang dari suami. Selama ini sering dipahami bahwa nusyuz hanya datang dari pihak isteri saja. Padahal Al-Qur’an juga menyebutkan adanya nusyuz dari suami sebagaimana yang tercantum dalam firman Allah SWT:
Artinya:
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak mengapa bagi keduanya Mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. An-Nisa: 128).[9]

Adapun nusyuz suami dapat terjadi dalam bentuk kelalaian dari pihak suami untuk memenuhi kewajibannya terhadap isteri, baik nafkah lahir ataupun nafkah batin.[10]
  1. Terjadinya Syiqoq
Jika kedua kemungkinan di atas telah disebutkan di muka menggambarkan satu pihak yang melakukan nusyuz sedangkan pihak yang lain dalam kondisi normal, maka kemungkinan yang ketiga ini terjadi karena kedua-duanya terlibat dalam syiqoq (percekcokan), misalnya disebabkan karena kesulitan ekonomi, sehingga keduanya saling bertengkar. Apabila percekcokan ini tidak dapat lagi didamaikan, maka harus dilakukan beberapa proses.[11]
Sebagaimana firman Allah SWT:


Artinya:
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. An-Nisa: 35).
Berdasarkan ayat di atas, jelas sekali aturan Islam dalam menangani masalah kericuhan dalam rumah tangga. Dipilihnya hakam (arbitrator) ari masing-masing pihak di karenakan para perantara itu akan lebih mengetahui karakter, sifat keluarga mereka. Ini lebih mudah mendamaikan suami isteri yang sedang bertengkar. An-Nawawi dalam syarah muhazzab menyatakan bahwa disunahkan hakam itu dari pihak suami isteri, dan jika tidak boleh maka dari pihak lain.[12]
  1. Salah satu pihak melakukan perbuatan zina yang menimbulkan saling tuduh-menuduh di antara keduanya.
Cara menyelesaikannya ialah dengan cara membuktikan tuduhan yang didakwakan, dengan cara li’an. Jika diamati aturan fiqih yang berkenaan dengan talak, terkesan fiqih memberi aturan yang sangat longgar bahkan dalam tingkat tertentu memberikan kekuasaan yang terlalu besar pada laki-laki. Seolah-olah talak menjadi hak kuasa laki-laki, sehingga bisa saja seorang suami bertindak otoriter, misalnya menceraikan isteri secara sepihak.[13]
Analisa Hadis:
Dari hadis Jabir ra bahwa orang yang ingin menjatuhkan talak tersebut harus mempunyai hubungan perkawinan dengan orang yang dijatuhkan talak (isteri), sehingga talak yang dijatuhkan itu dikatakan sah. Tetapi, sahnya talak tergantung dari situasi dan kondisi, karena apabila menjatuhkan talak tanpa melihat situasi dan kondisi maka hukum taklifnya akan berubah.

  1. Beberapa kesimpulan perbedaan antara Fasakh dan Talak
  2. Fasakh tidak mengurangi jumlah talak. Maka jika seorang istri mengajukan fasakh kemudian melaksanakan akad yang baru lalu mengajukan fasakh untuk yang kedua kalinya dan seterusnya, maka hal tersebut tidak menyebabkan keduanya (pasutri) menjadi haram kubra. Berdeda jika seorang suami menjatuhkan talak untuk yang ketiga kalinya, maka hal tersebut ( talak tiga) menyebabkan keduanya (pasutri) menjadi haram kubra yang tidak bisa dihalalkan lagi kecuali dengan perantara muhallil (istri menikah dengan laki-laki lain).
  3. Jika seorang istri mengajukan fasakh sebelum melakukan hubungan intim, maka hal itu menyebabkan suami tidak wajib membayar mas kawin. Berbeda jika seorang suami menjatuhkan talak sebelum melakukan hubungan intim, maka wajib baginya (suami) untuk membayar setengah dari mas kawin yang disebut pada saat melaksanakan akad nikah.
  4. Jika seorang istri mengajukan fasakh karena adanya aib yang baru diketahui setelah terjadinya hubungan intim, maka wajib bagi suaminya untuk membayar mahar mitsli. Berbeda jika seorang suami menjatuhkan talak karena adanya aib yang baru diketahui setelah terjadinya hubungan intim, maka wajib baginya (suami) membayar mas kawin sesuai dengan mas kawin yang disebut pada saat melaksanakan akad nikah.
  5. Jika seorang istri mengajukan fasakh bersamaan dengan pelaksanaan akad nikah, maka hal itu (fasakh) dapat menyebabkan gugurnya kewajiban suami untuk memberikan nafkah walaupun istri dalam keadaan hamil. Berbeda jika suami menjatuhkan talak bersamaan dengan pelaksanaan akad nikah, maka hal itu (talak) tidak menyebabkan gugurnya kewajiban suami untuk memberikan nafkah.


[1] Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 142
[2] Basyarahil, H.A. Aziz Salim. Masalah Agama, (Jakarta: Penerbit Gema Insani, 2007), Hlm. 28
[3] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 244.
[4] Prof. DR. Hj. Enizar, Hadist Hukum Keluarga 1, (Metro: Stain Press Metro 2014). Hlm. 128
[5] Slamet Abidin, Aminuddin , Fiqih Munakahat ( Bandung : CV Pustaka Setia,1999),.hlm 74-78
[6] Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 1995), h. 270
[7] Ibid, h. 271
[8] Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan di Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1986), h. 93
[9] Ibid, h. 94
[10] Ibid
[11] ibid
[12] Azhari Akmal Tarigan dan Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grouf, 2006), h. 214
[13] Ibid, hlm. 216


Ditulis oleh : Fikri Antoni



 melayani pembuatan: kaos, kemeja, jamper, pdl, polo, hoodie, sweater, topi, sablon kerudung almamater dll 
 untuk partai besar maupun kecil
PPC Iklan Blogger Indonesia